Hari ini (27/03) beberapa elemen masyarakat berencana akan menggelar demonstrasi besar-besaran menolak kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Aksi besar ini bisa jadi menjadi puncak dari serentetan demo yang telah merebak di Indonesia sejak beberapa waktu lalu. Namun bukan tidak mungkin aksi ini menjadi pemicu demonstrasi yang lebih besar lagi dan berujung kekacauan seperti terlihat di aksi-aksi demo sebelumnya.
Tetapi jika melihat sikap ngotot pemerintah untuk tetap melanjutkan rencana itu, rasanya apapun yang terjadi tidak akan mengubah sikap pemerintah. Meskipun di parlemen sendiri beberapa fraksi telah menolak, namun pemerintah yang didukung beberapa partai dalam koalisi tetap akan memenangkan voting jika terjadi kebuntuan sehingga kenaikan BBM 1 April nanti rasanya tidak bisa dielakkan.
Lepas dari pro-kontra tentang rencana tidak populer ini, cara pemerintah mewacanakan kenaikan harga BBM sejak jauh-jauh hari sesungguhnya hanya menambah beban rakyat saja. Betapa tidak, saat rencana itu diumumkan di media maka harga-harga kebutuhan berangsur-angsur meroket sementara daya beli masyarakat tidak serta merta ikut membaik. Dan tentu saja rakyat, terutama yang berada di lapisan bawah, yang dipaksa harus merasakan penderitaan lebih dahulu meski kenaikan BBM belum direalisasikan.
Maka meskipun seandainya nanti rencana ini batal dilaksanakan, tidak ada yang bisa menjamin harga-harga yang terlanjur melambung akan kembali turun seperti sedia kala. Entah memang pemerintah sendiri yang kurang peka membaca situasi atau justru cara pemerintah mengapungkan wacana kenaikan harga BBM sejak jauh-jauh hari digunakan sebagai alat memaksa rakyat secara halus untuk menerima kebijakan ini, hanya merekalah yang tahu.
Selain itu, pengumuman rencana kenaikan BBM ini sebenarnya juga membuat banyak orang berlaku jahat menjadi penimbun BBM. Padahal akhirnya pemerintah sendiri, terutama aparat kepolisian, yang harus ekstra sibuk membongkar aksi penimbunan BBM dan dipaksa mengawasi distribusi BBM agar tidak terjadi kecurangan. Secara tidak langsung bisa disebut bahwa pemerintah sendiri yang membuka peluang bagi rakyatnya untuk menjadi penjahat. Tentu saja hal ini akan menambah berat beban aparat kepolisian yang di waktu bersamaan harus menghadapi gelombang demonstrasi.
Di beberapa tempat bahkan harga BBM sendiri sudah berangsur meningkat meskipun belum resmi diterapkan. Parahnya lagi BBM menjadi barang yang susah dicari begitu pemerintah mengumumkan rencana itu. Antrean panjang para pembeli BBM di SPBU menjadi pemandangan yang mudah ditemukan di beberapa wilayah di Indonesia. Tentu saja hal seperti ini menyita waktu dan mengurangi produktifitas masyarakat kita untuk hal yang sebenarnya bisa dihindari.
Melihat hal-hal seperti itu, seharusnya pemerintah menjadikan rencana kenaikan BBM sebagai ‘operasi sunyi’. Karena jika dilakukan secara terbuka seperti sekarang, maka rakyatlah yang menjadi tumbal bahkan sejak sebelum kenaikan BBM itu resmi diterapkan. Memang tidak salah atas nama demokrasi pemerintah mengumumkan rencana kenaikan BBM sejak jauh-jauh hari, tetapi dengan besarnya ekses buruk yang harus ditanggung rakyatnya tentu saja lebih baik menjadikannya sebagai ‘operasi sunyi’.
Namun karena rencana kenaikan harga BBM memiliki nilai politik tinggi yang bisa digunakan mengangkat citra pihak penentang dan menjatuhkan citra pemerintah dan partai yang berkuasa, maka sangatlah sulit menjadikan rencana kenaikan harga BBM sebagai ‘operasi sunyi’. Dan demi mengejar citra itulah perdebatan panjang dan bertele-tele yang kini menghiasi media kita. Saat para penguasa sibuk berdebat mengatas-namakan rakyat, mereka tampaknya tak sadar bahwa rakyatlah yang sudah harus menjadi korban dan dipaksa menanggung kenaikan harga-harga barang. Padahal mereka yang sibuk berdebat adalah para pengkonsumsi uang rakyat yang disetorkan lewat pajak.
Lalu, melihat pemerintah mengelola negara dan para anggota parlemen menjalankan fungsinya, jari tangan manakah yang harus kita acungkan untuk mengapresiasi?
Salam
Source : http://www.kompasiana.com/alfajar