News Update :

Etika Jurnalistik: Berkaca dari Kasus Gereja Singaraja, Bali


Berasal dari Pulau Adonara, Flores Timur, NTT. Tinngal di Denpasar, profesi jurnalis, sebagai Ketua Koordinator Daerah Bali PWI Reformasi 2008-sekarang
OPINI | 03 April 2012 | 04:48 Dibaca: 86   Komentar: 0   Nihil
Oleh Rahman Sabon Nama

Kasus Gereja Katolik St. Paulus Singaraja yang dinyatakan kelar pada 24 Agustus 2010 rupanya masih menyisakan ‘masalah’ hingga sekarang. Romo Yohanes Nyoman Tanumiharja, SVD yang sudah digantikan Romo Y. Handriyanto Wijaya, Pr ternyata masih ‘memiliki’ umat di sana.

---------------------------------------------------------------------------------------------
Kiport:
acara, olahraga, acara hiburan, bisnis

online, acara olahraga, acara hiburan, bisnis online, internet, online, bisnis online ,bisnis internet,

wanita, busana, online, acara olahraga, acara olah raga, pengalaman, pengalaman, acara hiburan, acara

hiburan bisnis internet, teknologi, wanita, murah bisnis, pengalaman.alhamdulillah.Semoga

Sukses.Aamin

--------------------------------------------------------------------------------------------

Tampaknya, sampai sekarang umat terpecah dua. Sebagian masih setia dan tak rela Romo Yan Tanu dipindahkan, sebagian lagi sangat welcame dengan kehadiran Rm. Handriyanto. Tulisan ini tak bermaksud menganalisis kasus Singaraja dari sisi hukum positif Indonesia maupun hukum Gereja Katolik - karena memang kedua hukum itu saya tak paham - melainkan mencoba menganalisis pemberitaan kasus ini oleh wartawan Radar Bali di Singaraja sesuai etika jurnalisme yang berlaku secara universal, kode etik jurnalistik, dan UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers.
Back Ground Kasus
Tanggal 24 Oktober 2010, Gereja Katolik St. Paulus Singaraja diambilalih oleh Romo Y. Handriyanto Wijaya, Pr., sebagai pastor paroki resmi yang sebelumnya sudah diangkat oleh Uskup Denpasar (Bali & NTB) Mgr. Dr. Sylvester San, Pr pada bulan Juli 2010. Rm Handriyanto. Saat pengisongan gereja yang saat itu dikuasai Romo Yan Tanu dan pendukungnya, Romo Y. Handriyanto, Pr didampingi oleh Vikjen Keuskupan Denpasar Rm. Yoseph Wora, SVD dan Direktur Pusat Pastoral Keuskupan Denpasar, Rm. Herman Yoseph Babey, Pr, dan sejumlah tokoh agama dan pemuda Katolik dari Denpasar dan Singaraja.
Sebelumnya paroki ini dipimpin Rm. Yohanes Nyoman Tanumiharja, SVD. Pada tahun 1996 Rm. Yan Tanu dipindahkan ke Paroki St. Petrus Monang Maning, Denpasar. Entah mengapa pastor asal Tuka, Kuta Utara ini menolak dipindahtugaskan. Berbagai cara pendekatan dilakukan agar Rm. Yan Tanu mau mengindahkan SK Uskup Denpasar tersebut namun tetap tidak mempan. Puncaknya, karena dinilai melawan atasan, yuridiksinya (wewenang pelayanan pastoral) dicabut oleh Tahta Suci (Paus) melalui Uskup Denpasar pada tahun 1996. Begitu juga ordo SVD yang selama ini melekat pada dirinya dicabut konggregasi tertinggi SVD yang berkedudukan di Vatikan, Italia pada tahun yang sama (press release Solidaritas Jurnalis Katolik Bali, 26 Agustus 2010).
Etika Jurnalisme
Dr. Rushworth Kidder, dari Institut Etika Global dalam buku Etika Jurnalisme: Debat Global, hal. 7-12, edisi Bahasa Indonesia, 2006) mengatakan, praktik etika pada umumnya, dan dalam jurnalisme pada khususnya, bertumpu pada nilai-nilai kemanusiaan. Landasan universal ini - yang menjembatani benua, ras, dan bahasa - mencegah pembahasan tentang etika hanya menjadi masalah pribadi yang terpisah-pisah.
Menurut Kidder, berbeda dengan etika kedokteran atau hukum, etika jurnalisme bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Kata Kidder, tidak ada “hal tersendiri yang namanya jurnalisme”. Wartawan melaksanakan tugasnya meliput sesuatu melalui lensa etika. Wartawan harus menggunakan bahasa etika selain bahasa sehari-hari dalam politik dan ekonomi. Masih menurut Kidder, wartawan bukannya bertanya: “apakah ini berguna? Atau apakah secara ekonomi ini layak” tetapi “apakah ini benar?”.
Dalam buku “Shared Value for a Troubled World”, Kidder melaporkan studinya mengenai nilai-nilai etis untuk menguji dalilnya bahwa ada landasan yang sama dalam etika. Wawancara Kidder dengan 16 pemimpin negara di dunia mengungkapkan serangkaian nilai-nilai inti yang hanya sedikit bervariasi dari satu negara ke negara lain, atau dari satu kebubudayaan ke kebudayaan lain. Nilai-nilai tersebut adalah: cinta, kebenaran, kebebasan, kejujuran, kesetiakawanan, toleransi, tanggungjawab, dan hidup.
Pengambilan keputusan etis bukan saja merupakan penerapan atas nilai-nilai universal ini untuk menjawab pertanyaan tentang salah atau benar, tetapi juga tentang suara-suara menentang yang dihadapi jika dua jenis nilai atau lebih saling bertentangan sehingga kita harus memutuskan mana yang harus dipilih. Dalam pandangan Kidder, nilai-nilai yang paling sering bertentangan adalah: kebenaran versus loyalitas, individu versus masyarakat, jangka pendek versus jangka panjang, dan keadilan versus pengampunan.
Konflik-konflik demikian merupakan pertanyaan tentang etika yang khas dihadapi wartawan dalam kehidupan profesi mereka. Itulah yang oleh Kidder disebut “dilema kebenaran versus kebenaran”.
Bagi wartawan, keputusan untuk meliput dan menulis suatu obyek berita yang sudah diketahui sebelumnya mengandung ‘konflik”, juga tak lepas dari pertimbangan etika. Lalu bagaimana caranya? Kidder menawarkan tiga pendekatan dalam pembuatan keputusan etika berdasarkan tradisi-tradisi falsafah moral. Masing-masing dapat dipakai untuk memecahkan masalah, tetapi masing-masing mempunyai kelemahan dan jebakannya sendiri.
Utilitarianisme.
Pendekatan ini meminta kita untuk menjajagi konsekwensi dari suatu tindakan dan keputusan kita. Jika saya melakukan hal ini, akan terjadi begini; jika saya melakukan hal itu, yang akan terjadi lain lagi. Keputusan etis ini, dengan pendekatan utilitarian, adalah hasil dari sebuah kalkulasi etis: keputusan mana yang akan membawa kebaikan terbesar? Sering, terutama dalam politik, kebaikan diukur berdasarkan manfaat bagi orang terbanyak.
Keputusan Berdasarkan Peraturan: Imperatif Kategoris Kant.
Menurutu Iamanuel Kant, apa yang dilakukan seorang wartawan berdasarkan keyakinannya bahwa keputusan itu bersifat moral atau etis jika wartawan bisa membuktikan bahwa prinsip atau peraturan yang menjadi dasar keputusannya adalah sebuah hukum universal. Dengan kata lain, anda memutuskan untuk bertindak dengan alasan yang akan berlaku bagi siapa saja di dunia ini dalam situasi yang sama. Istilah lain untuk menggambarkan pendekatan Kant ini adalah etika deontologikal, yakni etika yang tidak berdasarkan pada konsekwensi tapi pada “deon’, kata Yunani yang berarti “tugas”.
Aturan Emas, atau Keterbalikan.
Menurut Kidder, prinsip bahwa “anda harus melakukan sesuatu terhadap orang lain sebagaimana orang lain melakukan terhadap anda” adalah pokok dari semua ajaran agama besar. “Di sini anda menempatkan diri pada kedudukan orang lain, jadi saling tukar peran,” kata Kidder. Aturan Emas ini sering disebut sebagai pendekatan berdasarkan kepedulian.
Kidder menguraikan, aspek paling sulit dalam pendekatan ini adalah menentukan “siapa orang lain” dan di posisi siapa anda harus menempatkan diri. Dengan menempatkan diri anda pada posisi orang lain, anda bisa melihat suatu masalah dari berbagai sudut pandang dan dengan begitu dapat mengambil keputusan untuk bertindak berdasarkan rasa kepedulian tertinggi.
Posisi Wartawan dalam Konflik
Harian Umum Radar Bali, Jumat, 30 Maret 2012, halaman 32 (halaman Radar Buleleng) memuat berita “Merekam Persiapan Umat Katolik Jelang Paskah 2012. Ada Aksi Sosial dan Pendalaman Iman bagi Umat”. Di akhir berita ini, jelas tertulis nama wartawannya, Francelino Xavier Ximenes Freitas dan redakturnya dengan kode “Djo”.
Mencermati berita ini dan beberapa berita sebelumnya dari penulis yang sama tentang aktifitas Romo Yan Tanu setelah dilengserkan, saya menduga Francelino sudah mengambil posisi terang-terangan sebagai pembela Romo Yan Tanu. Sebelumnya, pada perayaan Natal Bersama tahun 2010 yang digelar umat pendukung Romo Yan Tanu, Francelino malah sebagai ketua panitia. Tak salah jika Bupati Buleleng I Ketut Bagiada juga menyempatkan diri menghadiri acara ini. Saya yakin, kalau ketua panitianya bukan seorang wartawan, Bupati Bagiada gak bakalan menghadiri acara tersebut. Ini karena ada hubungan kolegial kental antara wartawan dan pemerintah (Pemkab Buleleng), lebih khusus lagi, dengan bupati.
Dari dua kasus ini, Francelino sudah terlibat dalam konflik kepentingan; sesuatu yang hukumnya haram dalam dunia jurnalistik. Sangat boleh jadi, Francelino adalah bagian dari umat yang selama ini menjadi pendukung Romo Yan Tanu. Jika benar demikian adanya, sebagai seorang jurnalis, Francelino tidak boleh menjadi pembela Romo Yan Tanu, kecuali dia telah melepaskan profesinya itu. Tetapi jika dia tetap menjalankan profesinya sebagai wartawan, maka Franscelino harus memberitakan secara seimbang. Yakni, baik kegiatan yang dilakukan oleh Rm. Yan Tanu maupun kegiatan yang dilakukan Rm. Handriyanto Wijaya yang legal sesuai hirarki gereja Katolik. Dalam kedua berita tersebut tidak ada sama sekali “cover both side”.
Di tingkat redaktur, tampaknya tidak ada debat berarti ketika rapat budget guna menentukan layak-tidak sebuah berita diterbitkan. Atau mungkin para redaktur terkecoh seolah-olah apa yang ditulis wartawannya dari Singaraja itu adalah kegiatan resmi pastor yang diakui gereja Katolik se-dunia. Pada aliena kedua berita 30 Maret itu tertulis: “Umat Katolik di Buleleng binaan Romo Yohanes Tanumiharja Nyomna, SVD, pun melaksanakan sejumlah kegiatan sisial-kemanusiaan dan rohani…..”. Apalagi, berita yang dikirim Francelino, tampaknya press claar sehingga redaktur hanya mengedit kesalahan ketik atau kesalahan lain yang tidak substantif. Sebab, dari gaya bahasa dan kalimat-kalimat khas Kristiani saya bisa pastikan itu langsung dari wartawannya. Kalau redakturnya jeli, berita dari Francelino seperti ini yakin tidak akan dinaikan oleh redaktur. Apalagi Radar Bali juga pernah memuat klarifikasi Uskup Denpasar Mgr. Sylvester San, Pr soal kasus pengambilalihan gereja Katolik St Paulus Singaraja tersebut.
Di Mana Independensi Wartawan?
Jika mengacu kepada ketiga pendekatan keputusan etis di atas, saya menduga wartawan Radar Bali Francelino sudah melakukan pelanggaran etika jurnalisme yang berlaku secara universal. Merujuk pada pendekatan utilitarianisme, seharusnya wartawan tersebut dapat mempertimbangkan manfaat berita terbesar bagi orang banyak, dalam hal ini umat dan hirarkis gereja Katolik, bukan untuk kepentingan segelintir orang. Rupanya, dia lebih memilih pendekatan etika deontologikal, yakni etika yang tidak berdasarkan pada konsekwensi tapi pada “deon’, kata Yunani yang berarti “tugas”. Jadi, karena tugasnya meliput peristiwa atau opini di masyarakat, makanya itulah yang dikerjakan tanpa memperhitungkan konsekwensi dari pemberitaan tersebut. Sekalipun demikian, etika lainnya juga tidak boleh dilupakan. Seperti kata Kodder, etika jurnalisme bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri.
Selain menggunakan pendekatan deontologikal, wartawan tersebut juga memakai pendekatan Aturan Emas, atau Keterbalikan (bertukar peran) atau pendekatan berdasarkan kepedulian. Timbul pertanyaan sekarang, mengapa wartawan ini begitu peduli dengan Romo Yan Tanu? Lalu bagaimana posisi wartawan ini dengan pastor yang resmi ditunjuk uskup? Haruslah diingat, wartawan adalah wartawan, bukan aktivis HAM atau LSM lainnya. Ben Cohen, seorang wartawan Inggris malah berkata lebih kejam lagi: wartawan itu tidak punya bangsa ataupun negara. Wartawan adalah rakyatnya dan jurnalisme adalah tanah airnya. Tepat sekali jika Andreas Harsono, seorang jurnalis dan pegiat HAM mengatakan “Agama Saya Adalah Jurnalisme”.
Memang dalam hal membela kebenaran, bias pandang wartawan tentu tak bisa dihindari tergantung dari sudut pandang, latar belakang agama, filosofi, sosial, budaya, pendidikan dan lain-lain. Tetapi masyarakat membutuhkan kepastian. Itulah maka “kebenaran” ini ditempatkan pada urutan teratas dari sembilan elemen jurnalistik dalam buku “The Elements of Journalism. What Newspeople Should Know and the Public Should Expect” karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, 2001. Menurut Kovach dan Rosenstiel, masyarakat membutuhkan prosedur dan proses guna mendapatkan kebenaran fungsional, yang terbentuk dari hari ke hari, tahap demi tahap hingga diperoleh kebenaran yang sesungguhnya. Hakim bisa keliru menghukum orang yang tidak bersalah. Wartawan bisa salah membuat berita, kemudian ada koreksi atau klarifikasi sehingga berita-berita hari berikutnya tidak mungkin ada kesalahan lagi-dari berita yang sudah diklarifikasi tersebut-seperti halnya klarifikasi Uskup Denpasar soal kasus Singaraja ini. Sayangnya hal-hal semcam itu tidak dilakukan oleh wartwan tersebut sehingga bisa disebut sangat jelas keberpihakannya terhadap Romo Yan Tanu.
Pelanggan Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers
Bertolak dari uraian di atas, saya kira rekan Francelino sangat berpotensi melanggar Kode Etik Jurnalistik (Indonesia) khususnya pasal 1 yang berbunyi: Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Masing-masing unsur dalam pasal ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Jelas sekali tidak independen karena Francelino terang-terangan membela Romo Yan Tanu yang diwujudkan dengan memberitakan aktifitas Romo Yan Tanu di Singaraja. Unsur akurasi berita juga menurut saya tidak ada karena tidak ada istilah “umat Katolik binaan” pastor lain selain pastor yang ada setelah tanggal 24 Agustus 2010. Unsur “berimbang” juga diabaikan karena tidak ada “cover both side”, misalnya meminta komentar kepada pastor yang resmi bertugas di sana. Dengan demikian patut diduga wartawan tersebut beritikad buruk karena pemberitaan semacam itu merugikan secara moral pastor yang resmi. Pada akhirnya, apa yang dilakukan wartawan tersebut bisa dikatakan-ini menurut saya-melanggar pasal 5 ayat (1) UU No. 40 tahun 1999 yang berbunyi: “Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah”. Sebab, jika mengacu kepada norma agama Katolik, Romo Yan Tanu sudah dicabut yuridiksinya, begitu juga gelar pastornya dari ordo SVD sudah dicabut oleh “induk” tertinggi SVD yang berkedudukan di Vatikan, Roma. Sehingga pemberitaan oleh wartawan tersebut berpotensi makin memecah belah umat Katolik di sana dan membuat ketersinggungan umat Katolik lain bahkan Uskup Denpasar. Dan pada akhirnya terjadi pembohongan publik.*
View the original article here
Share this Article on :
 

© Copyright Sharing Connecting 2010 -2011 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.